Rabu, 08 Mei 2013

Perbedaan Budaya Indonesia dengan Budaya Jepang


Perbedaan Budaya Indonesia dengan Budaya Jepang
Bangsa Jepang relatif homogen, dan hanya memiliki sekitar 15 bahasa (tidak berarti 15 suku bangsa, karena termasuk didalamnya sign language untuk tuna rungu), dan telah memiliki sejarah yang jauh lebih panjang, sehingga nilai-nilai budaya itu lebih mengkristal. Adapun bangsa Indonesia berciri heterogen, multi etnik, memiliki lebih dari 700 bahasa, sehingga tidak mudah untuk mencari serpih-serpih budaya yang mewakili Indonesia secara nasional. Perlu dipisahkan nilai-nilai mana yang diterima secara nasional di Indonesia, dan mana yang merupakan karakter unik salah satu suku yang ada. Sehingga pebedaan budayanya pun sangat sulit untuk dibandingkan. Akan tetapi, dari budaya Indonesia yang ada akan saya masukan yang umum terjadi dimasyarakat yang sebenarnya.

1. Tradisi Penamaan
      Jika di Jepang nama seseorang terdiri dari dua bagian : family name dan first name. Nama ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan (kuyakusho), selambat-lambatnya 14 hari setelah seorang bayi dilahirkan. Semua orang di Jepang kecuali keluarga kaisar, memiliki nama keluarga. Tradisi pemakaian nama keluarga ini berlaku sejak jaman restorasi Meiji, sedangkan di era sebelumnya umumnya masyarakat biasa tidak memiliki nama keluarga. Sejak restorasi meiji, nama keluarga menjadi keharusan di Jepang. Dewasa ini ada sekitar 100.000 nama keluarga di Jepang, dan diantaranya yang paling populer adalah Satou dan Suzuki. Jika seorang wanita menikah, maka dia akan berganti nama keluarga, mengikuti nama suaminya. Namun demikian, banyak juga wanita karir yang tetap mempertahankan nama keluarganya. Dari survey yang dilakukan pemerintah tahun 1997, sekitar 33% dari responden menginginkan agar walaupun menikah, mereka diizinkan untuk tidak berganti nama keluarga. Hal ini terjadi karena pengaruh struktur masyarakat yang bergeser dari konsep “ie”() dalam tradisi keluarga Jepang. Semakin banyak generasi muda yang tinggal di kota besar, sehingga umumnya menjadi keluarga inti (ayah, ibu dan anak), dan tidak ada keharusan seorang wanita setelah menikah kemudian tinggal di rumah keluarga suami. Tradisi di Jepang dalam memilih first name, dengan memperhatikan makna huruf Kanji, dan jumlah stroke, diiringi dengan harapan atau doa bagi kebaikan si anak.

       Jika di Indonesia, nama keluarga tidak terlalu dipermasalahkan. Adapun masyarakat di Indonesia tidak semua suku memiliki tradisi nama keluarga. Masyarakat Jawa misalnya, tidak memiliki nama keluarga. Tetapi suku di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi memiliki nama keluarga. Dari nama seseorang, kita dapat memperkirakan dari suku mana dia berasal, agama apa yang dianut dsb. Berikut karakteristik nama tiap suku di Indonesia:

  •  Suku Jawa (sekitar 45% dari seluruh populasi) : biasanya diawali dengan Su (untuk laki-laki) atau Sri (untuk perempuan), dan memakai vokal “o”. Contoh : Sukarno, Suharto, Susilo, Joko, Anto, Sri Miranti, Sri Ningsih.
  • Suku Sunda(sekitar 14% dari seluruh populasi) : banyak yang memiliki perulangan suku kata. Misalnya Dadang, Titin, Iis, Cecep
  • Suku Batak : beberapa contoh nama marga antara lain Harahap, Nasution.
  • Suku Minahasa : beberapa contoh nama marga antara lain Pinontoan, Ratulangi.
  • Suku Bali : Ketut, Made, Putu, Wayan dsb. Nama ini menunjukkan urutan, bukan merupakan nama keluarga.
Selain nama yang berasal dari tradisi suku, banyak nama yang diambil dari pengaruh agama. Misalnya umat Islam : Abdurrahman Wahid, Abdullah, dsb. Sedangkan umat Katolik biasanya memakai nama baptis : Fransiskus, Bonivasius, Agustinus, dsb.

Perbedaan lebih jelasnya sebagai berikut:

  1. Di Jepang, nama keluarga dimasukkan dalam catatan sipil secara resmi, tetapi di Indonesia nama keluarga ini tidak dicatatkan secara resmi di kantor pemerintahan. Nama family/marga tidak diperkenankan untuk dicantumkan di akta kelahiran
  2. Di Jepang setelah menikah seorang wanita akan berganti nama secara resmi mengikuti nama keluarga suaminya. Sedangkan di Indonesia saat menikah, seorang wanita tidak berganti nama keluarga. Tapi ada juga yang nama keluarga suami dimasukkan di tengah, antara first name dan nama keluarga wanita, sebagaimana di suku Minahasa. Di Indonesia umumnya setelah menikah nama suami dilekatkan di belakang nama istri. Misalnya saja Prio Jatmiko menikah dengan Sri Suwarni, maka istri menjadi Sri Suwarni Jatmiko. Tetapi penambahan ini tidak melewati proses legalisasi/pencatatan resmi di kantor pemerintahan. 
  3. Huruf Kanji yang bisa dipakai untuk menyusun nama anak di Jepang dibatasi oleh pemerintah (sekitar 2232 huruf, yang disebut jinmeiyo kanji), sedangkan di Indonesia tidak ada pembatasan resmi untuk memilih kata yang dipakai sebagai nama anak
2. Ketika berangkat kerja atu sekolah
    Jika di Jepang, pada umumnya mereka selalu jalan cepat dan terburu-buru karena takut telat masuk kantor ataupun sekolah, karena mereka menerapkan system tepat waktu. Sedangkan di Indonesia keterbalikan pada keadaan di Jepang, yaitu selalu santai karena sudah terbiasa dan menganggap bahwa guru ataupun bos juga telat.

3. Saat bepergian
     Di Jepang, pada umunya lebih menyukai kendaraan umum seperti kereta ataupun bus. Karena mereka menerapkan system “Go Green”, untuk mengurangi polusi serta mengurangi dampak GlobalWarming..
Sedangkan di Indonesia, naik kendaraan umum adalah hal yang tidak biasa atau bisa dikatakan gengsi untuk menggunakan bus, sedangkan stasiun kereta jauh masa harus naik angkot juga? rata-rata akan memilih menggunakan sepeda motor ataupun mobil pribadi.

4. Jarang mobil kendaraan pribadi di jalanan
     Seperti yang kita ketahui bahwa negara jepang merupakan salah salah satu negara produsen kendaraan terbesar didunia. Anehnya di negara jepang justru sedikit sekali kendaraan yang dapat dilihat di jalanan, apalagi jika kamu pergi ke jepang dan mencari jalanan yang macet pasti akan sulit sekali karena memang tidak ada yang macet.
Jika di Indonesia, dikit-dikit menggunakan kendaraan pribadi, sekolah pakai motor, kerja pakai mobil sampai berliburan sekalipun masih menggunakan kendaraan pribadi. Dan jika kita menggunakan kendaraan milik sendiri, seakan-akan dunia akan memujinya.


5. Ketika sekolah
      Di Jepang, bangku yang kosong selalu yang berada dibelakang, mereka sangat disiplin sehingga bisa diatur sedemikian rupa.
Jika di Indonesia, datang pagi-pagi bukan untuk mencari bangku depan namun mencari bangku yang paling belakang (sasaran strategis bangku pojok paling belakang) enak banget bisa sambil mainan HP jika duduk dibelakang.

6.Ketika malam hari
    Jika di Jepang, setiap malam mereka terbiasa membaca buku atau kalau tidak mereka melakukan pekerjaan yang bermanfaat.
Di Indonesia jika sudah malam, bisa dipastikan setiap rumah sedang menonton tv dengan keluarga.

7.Tradisi Membuang Sampah
     Di Jepang, sampah dibuang sesuai jenisnya. Sampah organik dibuang di tempat sampah khusus organik, sampah non organik dibuang di tempat sampah non organik.
Sementara di Indonesia, sampah akan dapat ditemukan disetiap tempat. Karena tidak menerapkan system “terserah saya”, jadi apapun yang dilakukan setiap orang jika berbeda dengan prinsip kita, maka akan dibiarkan saja. Sehingga mau organik, non organik, bangkai binatang, semuanya dijadikan satu dalam kantong plastik berukuran besar.

8.Tradisi membuat janji
    Orang Jepang, selau menepati janji jika membuat janji dengan seseorang. Jika sekali saja ada yang melanggar, maka dia tidak akan dipercaya lagi oleh orang lain.
Sangat berbeda sekali dengan Indonesia. Jika di Indonesia, jika kita melakukan perjanjian bisa akan dipastikan hanya satu atau dua orang saja yang akan menepati janji tersebut.

9.Tradisi Ketika Terlambat Masuk
   Jika seorang murid di Jepang, ketika terlambat masuk sekolah akan memohon maaf sambil membungkukkan badan 90 derajat, dan menunjukkan ekspresi malu dan menyesal gak akan mengulangi lagi.
Jika di Indonesia, jika siswa terlambat akan masuk gitu aja tanpa bilang permisi ke dosen sama sekali. Dalam bahasa kasarnya adalah tidak tahu malu.

Senin, 06 Mei 2013

Salah Paham antara Ibu, Aku, dan Temanku


Dalam kehidupan sehari-hari sering sekali kita temui hal-hal yang menyangkut tentang masalah konflik dan perselisihan. Terutama didalam keluarga. Pendapat atau argumentasi seorang anak dan orang tua biasanya memiliki kecenderungan perbedaan yang cukup signifikan terutama dalam pola pikirnya. Dibawah ini terdapat contoh kasus tentang perselisihan antara Ibu dan anak serta teman dekat si anak.
Seorang anak yang bernama Astri (18 th) yang duduk di bangku kuliah, sudah berteman baik dengan Putri (20 th). Persahabatan mereka mulai terjalin sangat kuat ketika Astri diperkenalkan dengan seorang laki-laki bernama Joni (27 th) yang bekerja pada perusahaan besar. Bahkan setiap malam mereka berdua pergi hingga larut malam, hal itu membuat ibu-nya Astri berfikiran buruk terhadap laki-laki tersebut. Ibunya Astri pun akhirnya melarang anaknya untuk tidak boleh keluar malam. Hingga akhirnya Asri kabur ke rumah Putri. Ibu astri pun menyuruh anaknya untuk pulang kerumah. Kemudian ibu Astri pun menemui Putrid an menyuruhnya agar tidak mendekati Astri lagi lantaran Astri mulai berubah ketika berteman dengannya.
Putri pun menceritakan pertemuannya dengan ibu-nya Astri kepada Astri, Astri pun tidak percaya dan menuduh Putri berbicara yang tidak-tidak tentang ibunya. Dan akhirnya Astri tidak meuruti kata ibu-nya dan memendam rasa kesalnya hingga bertahun-tahun. Serta memendam kekesalannya terhadap Putri hingga berlarut-larut.

Komentar:
1. Seharusnya Astri bisa menjaga diri untuk tidak terbawa arus yang dilakukan oleh teman-teman yang baru dikenalnya.
2. Sudah seharusnya sorang ibu menghawatirkan perilaku anaknya yang mulai berubah kearah yang lebih negative.
Saran;
1. Sebaiknya setiap tindakan yang dilakukan seorang anak harus dibicarakan dahulu dengan orang tua agar tidak terjadi kesalahpahaman.
2. Adanya keterbukaan pendapat antar orang tua dan anak