Salah satu metode pengumpulan data adalah dengan jalan
wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada
responden. Cara inilah yang banyak dilakukan di Indonesia belakangan ini. Wawancara
merupakan salah satu bagian terpenting dari setiap survey. Tanpa wawancara,
peneliti akan kehilangan informasi yang hanya dapat diperoleh dengan jalan
bertanya langsung kepada responden. Data semacam itu merupakan tulang punggung
suatu penelitian survey.
A. Pengertian Wawancara
Yang dimaksud dengan
wawancara menurut Nazir (1988) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau
pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang
dinamakan interview guide (panduan wawancara).
Walaupun wawancara
adalah proses percakapan yang berbentuk tanya jawab dengan tatap muka,
wawancara adalah suatu proses pengumpulan data untuk suatu penelitian. Beberapa
hal dapat membedakan wawancara dengan percakapan sehari-hari adalah antara
lain:
·
Pewawancara dan
responden biasanya belum saling kenal-mengenal sebelumnya.
·
Responden selalu
menjawab pertanyaan.
·
Pewawancara
selalu bertanya.Pewawancara tidak menjuruskan pertanyaan kepada suatu jawaban,
tetapi harus selalu bersifat netral.
·
Pertanyaan yang
ditanyakan mengikuti panduan yang telah dibuat sebelumnya. Pertanyaan panduan ini
dinamakan interview guide.
Wawancara merupakan
metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dilakukan secara
sistematis dan berlandaskan kepada tujuan penelitian (Lerbin,1992 dalam Hadi,
2007). Tanya jawab ‘sepihak’ berarti bahwa pengumpul data yang aktif bertanya,
sermentara pihak yang ditanya aktif memberikan jawaban atau tanggapan. Dari
definisi itu, kita juga dapat mengetahuibahwa Tanya jawab dilakukan secara
sistematis, telah terencana, dan mengacu pada tujuan penelitian yang dilakukan.
Pada penelitian,
wawancara dapat berfungsi sebagai metode primer, pelengkap atau sebagai
kriterium (Hadi, 1992). Sebagai metode primer, data yang diperoleh dari
wawancara merupakan data yang utama guna menjawab pemasalahan penelitian.
Sebagai metode pelengkap, wawancara berfungsi sebagai sebagai pelengkap metode
lainnya yang digunakan untuk mengumpulkan data pada suatu penelitian. Sebagai
kriterium, wawancara digunakan untuk menguji kebenaran dan kemantapan data yang
diperoleh dengan metode lain. Itu dilakukan, misalnya, untuk memeriksa apakah
para kolektor data memeang telah memperoleh data dengan angket kepada subjek
suatu penelitian, untuk itu dilakukan wawancara dengan sejumlah sample subjek
tertentu.
Mengenai latar belakang
pengguanaan wawancara sebagai metode pengumpulan data pada suatu penelitian,
pendapat Allport ( dalam Hadi, 1992) berikut perlu dipertimbangkan: “If we want
to know how people feel, what their experience and what they remember, what
their emotions and motives are like, and the reasons for acting as they do –
why not ask them?” Dari pendapat itu, kita mengetahui bahwa wawancara dapat
atau lebih tepat digunakan untuk memperoleh data mengenai perasaan, pengalaman
dan ingatan, emosi, motif, dan sejenisnya secara langsung dari subjeknya.
Charles Stewart dan W.
B. Cash mendefinisikannya sebagai “sebuah proses komunikasi berpasangan dengan
suatu tujuan yang serius dan telah ditetapkan sebelumnya yang dirancang untuk
bertukar perilaku dan melibatkan tanya jawab” Robert Kahn dan Charles Channel
mendefinisikan wawancara sebagai “suatu pola yang dikhususkan dari interaksi
verbal – diprakarsai untuk suatu tujuan tertentu, dan difokuskan pada sejumlah
bidang kandungan tertentu, dengan proses eliminasi materi yang tak ada
kaitannya secara berkelanjutan”.
Karena kata
“mewawancarai” dalam penggunaan sehari-hari mengacu pada begitu banyak jenis
interaksi yang berbeda-beda, sulit untuk menulis satu definisi yang mampu
mengakomodasi semuanya. Meskipun demikian, penting bagi kita untuk menetapkan
sebuah definisi mendasar sebagai sebuah kerangka acuan. Oleh karenanya, kami
mendefinisikan wawancara sebagai suatu bentuk yang dikhususkan dari komunikasi
lisan dan bertatap muka antara orang-orang dalam sebuah hubungan interpersonal
yang dimasuki untuk sebuah tujuan tertentu yang diasosiasikan dengan pokok
bahasan tertentu. Pembahasan mengenai beberapa istilah kunci dari definisi ini
akan menjadikannya lebih bermakna.
Wawancara adalah suatu
proses interaksi dan komunikasi. Dalam proses ini, hasil wawancara ditentukan
oleh beberapa faktor yang berinteraksi dan mempengaruhi arus informasi.
Faktor-faktor tersebut ialah: pewawancara, responden, topik penelitian yang
tertuang dalam daftar pertanyaaa, dan situasi wawancara.
Pewawancara diharapkan
menyampaikan pertanyaan kepada responden, merangsang responden untuk
menjawabnya, menggali jawaban lebih jauh bila dikehendaki mencatatnya. Bila
semua tugas ini tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya maka hasil wawancara
menjadi kurang bermutu. Syarat menjadi pewawancara yang baik ialah ketrampilan
mewawancarai, motivasi yang tinggi, dan rasa aman, artinya tidak ragu dan takut
untuk menyampaikan pertanyaan.
Demikian pula responden
dapat mempengaruhi hasil wawancara karena mutu jawaban yang diberikan
tergantung pada apakah dia dapat menangkap isi pertanyaan dengan tepat serta
bersedia menjawabnya dengan baik.
B. Jenis
Wawancara
Sebagaimana metode lainnya yang digunakan pada
penumpulan data, metode wawancara dibedakan berdasarkan cara
pengadministrasiannya menjadi wawancara pribadi (Lerbin, 2007). Wawancara
pribadi dapat dilakukan di rumah subjek, melalui komputer, dan di tempat
perbelanjaan. Wawancara yang dilakukan di tempat perbelanjaan itu sering
disebut wawancara mall intercept. Contoh wawancara pribadi:
Pewawancara(P): Apakah Anda sudah pernah merasakan
donat J.Co?
Subjek(S) : Sudah pernah.
P : Bagaimana pendapat Anda tentang cita rasa donat
tersebut?]
S : Menurut saya donat tersebut enak, empuk, tidak
terlalu manis, dan jenisnya beraneka ragam.
P : Seberapa sering Anda mengkonsumsi donat
tersebut?
S : Sekitar tiga minggu sekali.
P : Kapan terakhir kali Anda mengkonsumsinya?
S : Dua minggu yang lalu.
Berdasarkan strukturnya, wawancara dibedakan menjadi
wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Pada wawancara terstruktur,
hal-hal yang akan ditanyakan telah terstruktur, telah ditetapkan sebelumnya
secara rinci. Pada wawancara tak terstruktur, hal-hal yang akan ditanyakan
belum ditetapkan secara rinci. Rincian dari topik pertanyaan pada wawancara yang
tak terstruktur disesuaikan dengan pelaksanaan wawancara di lapangan.
Contoh wawancara terstruktur:
P : Apakah Anda mengetahui tentang peristiwa
kebakaran yang terjadi di komplek pertokoan ini yang baru terjadi kemarin?
S : Iya
P : Kapan peristiwa kebakaran tersebut terjadi?
S : Sekitar pukul 20.30 WIB.
P : Di mana Anda berada saat kebakaran terjadi?
S : Saya berada di dalam toko saya yang berjarak
300m dari kebakaran tersebut.
P : Bagaimana tindakan Anda begitu mengetahui
peristiwa tersebut?
S :Langsung menelpon petugas pemadam kebakaran dan
menyelamatkan berkas-berkas penting serta barang berharga lainnya.
Contoh wawancara tidak terstruktur:
P : Apakah Anda mengetahui akan tawuran antar
pelajar SMA yang baru saja terjadi di kota ini?
S : Iya
P : Anda mengetahui peristiwa tersebut dari mana?
S : Dari teman saya.
P : Apakah teman Anda melihat langsung kejadian
tersebut?
S : Iya, ia sedang melintas daerah tersebut saat
tawuran terjadi.
P : Apakah teman Anda ketakutan ketika melihat
peristiwa tersebut atau malah mendekat ke lokasi?
S : Ia malah mendekat ke lokasi dan sempat mengambil beberapa foto kejadian
tersebut.
Hal yang dijelaskan pada metode angket banyak
berkaitan secara langsung dengan metode wawancara karena wawancara sendiri
memang dapat dipandang sebagai bentuk lain dari angket, khususnya dari segi
pengadministrasiannya. Sejalan dengan itu, banyak hal-hal yang dijelaskan pada
metode angket dapat juga dugunakan pada pelaksanaaan wawancara, terutama
mengenai pengembangan hal-hal yang akan diungkap atau ditanyakan.
C. Hubungan dengan Orang yang
Diwawancara
Keberhasilan suatu wawancara sangat ditentukan oleh
bagaimana hubungan antara subjek dan pewawancara (Lerbin,2007). Suasana
hubungan yang kondusif (disebut juga sebagai rapport) untuk keberhasilan suatu
wawancara mencakup adanya sikap saling mempercayai dan kerja sama di antara
mereka. Suasana yang demikian dapat diusahakan melalui beberapa cara,
diantaranya pewawancara sebaiknya lebih dulu memperkenalkan diri dan
mengemukakan secara jelas dan lugas tujuan wawancara yang akan dilakukannya.
Hal itu dilakukan dengan sikap rendah hati dan bahwa yang berkepentinagan
adalah pewawancara. Pada awal pertemuan, pewawancara juga harus menciptakan
suasana yang santai dan bebas serta tidak formal agar proses wawancara dapat
berlangsung secara lebih alamiah.
Pewawancara sebaiknya mengawali pembicaraan dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan ‘pemanasan’ sebagai pendahuluan, sekalipun
pertanyaan itu mungkin tidak berkaitan langsung dengan tujuan penelitian.
Kemudian, secara perlahan-lahan, pewawancara mengarahkan pembicaraan pada
tujuan penelitian. Hal itu dilakukan untuk memperlancar proses wawancara.
Hal-hal yang ditanyakan pada pendahuluan itu sebaiknya adalah hal-hal yang
menarik minat subjek. Dalam keadaan yang demikian, penggunaan ‘bahasa ibu’ dari
subjek mungkin akan sangat membantu.
Pada pelaksanaan wawancara, pewawancra jangan
menunjukkan sikap tidak percaya terhadap dan kurang menghargai jawaban yang
diberikan subjek dan ajngan menunjukkan siakp yang tergesa-gesa. Adakalanya
subjek mengalami blocking, pikirannya ‘tersumbat’ sehingga proses wawancara
tidak berjalan dengan lancar. Dalam keadaan yang demikian, pewawancara harus
dapat membantu subjek untuk keluar dari keadaan itu. Itu dapat dilakukan,
misalnya denagn mengalihkan topik pembicaraan ke topik lain untuk sementara
waktu.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh pewawancara adalah bahwa ia harus dapat
memahami keadaan subjek, ia harus memiliki empati. Dengan cara yang demikain,
pewawancara akan lebih dapat mengarahkan wawancara sesuai dengan kondisi
subjek.
Suatu hal yang penting dalam wawancara adalah si
pewawancara dapat mengganti subjeknya (Nazir, 1988). Jika seorang responden
misalnya tidak ingin memberikan keterangan tentang suatu hal, maka peneliti dapat
pindah mencari responden lain. Tidak demikian halnya dalam pengamatan langsung.
Karena itu, si peneliti harus dapat mencari jalan supaya pengamatan terhadap
kejadian yang ingin diamati tidak boleh gagal.
Sebelum pewawancara turun untuk melaksanakan wawancara, maka dia harus lebih
dahulu memeutuskan apakah ia akan memperkenalkan dirinya sebagai peneliti,
ataukah ia akan bekerja sebagai incognito. Tetapi, pengalaman memprlihatkan
bahwa sebaiknya si peneliti atau pewawancara memperkenalkan dirinya sebagai
peneliti kelompok objek. Hal ini memberikan beberapa keuntungan antara lain:
v Hal tersebut adalah hal yang sederhana untuk
dilakukan, karena dengan pemunculan orang asing secara tiba-tiba dapat
menimbulkan kecurigaan.
v Akan mempertinggi kemungkinan memperoleh keterangan
yang diinginkan.
v Jika ia bekerja secara incognito, maka ada perasaan
kesalahan secara etika dalam diri si peneliti dalam melakukan kegiatan-kegiatan
yang dilakukan oleh objek yang sedang diteliti.
v Yang paling penting dalam hal hubungan antara
pengamat denagn yang diamati adalah si pengamat harus dapat meyakinkan objek
atau harus dapat memberikan alasan-alasan yang tepat mengapa ia harus
mengadakan pengamatan terhadap perilaku atau fenomena yang ingin diamati. Dalam
partisipasi langsung untuk pengamatan kejadian atau fenomena maka adalah sangat
penting bagi si peneliti untuk membuat dirinya dapat diterima dalam anggota
kelompok di mana pengamatan akan dilakukan.
D. Pelatihan
Wawancara
Latihan wawancara dilakukan untuk
memberikan bekal keterampilan kepada pewawancara untuk mengumpulkan data dengan
hasil baik. Karena tidak ada ukuran standar untuk survey ataupun pewawancara,
maka tidak ada pula program latihan yang baku. Sifat, materi, dan lamanya
program latihan disesuaikan dengan kebutuhan survey yang akan dilakukan.
Misalnya tergantung pada jumlah dan kualitas pewawancara, waktu yang
disediakan, mudah atau sukarnya kuisioner yang harus dipelajari dan juga
besarnya anggaran yang tersedia (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1989).
Pada prinsipnya yang harus diberikan selama masa pelatihan formal adalah:
a.
penjelasan
tujuan penelitian
b.
penjelasan
tujuan tugas pewawancara dan menekankan pentingnya peranan pewawancara
c.
penjelasan tiap
nomor pertanyaan dalam kuisioner, baik konsep yang terkandung di dalamnya
maupun tujuan pertanyaan tersebut. Pewawancara harus mengetahui dengan tepat
maksud semua pertanyaan, agar dapat mengumpulkan informasi yang tepat dan
jelas.
d.
Penjelasan cara
mencatat jawaban responden.
e.
Penjelasan cara
pengisian dan arti dari semua tanda-tanda pengisian kuisioner.
f.
Pengertian yang
mendalam mengenai pedoman wawancara, untuk mengurangi sejauh mungkin kegagalan
dalam mendekati responden. Pedoman wawancara mencakup etika, sikap, persiapan,
dan taktik wawancara.
g.
Prosedur
wawancara, dari mulai memperkenalkan diri sampai dengan meninggalkan
respponden.
h.
Orientasi
tentang masalah apa yang dapat timbul di lapangan dan bagaimana mengatasinya.
i.
Latihan
wawancara
j.
Diskusi tentang
masalah latihan wawancara tersebut.
Pelatihan biasanya diarahkan pada
cara-cara berkomunikasi dan cara memperoleh informasi secara lebih mendalam
serta cara-cara untuk menciptakan suasana wawancara yang kondusif untuk
mendapatkan informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian. Selain itu, cara
untuk melakukan pencatatan jawaban subjek juga perlu dilatih, terutama mengenai
hal-hal apa saja yang perlu dicatat dan tidak. Hal lain yan gperlu ditekankan pada
pelatihan adalah kewajiban pewawancara untuk menyampaikan ucapan terima kasih
dan meminta maaf apabila ada hal-hal yang tidak berkenan selama wawancara
berlangsung dan meminta kesediaan subjek untuk diwawancara kembali seandainya
masih diperlukan.
Pada pelatihan juga perlu ditekankan
agar pewawancara memeriksa kelengkapan maupun kejelasan jawaban atas tiap
pertanyaan yang diberikan oleh subjek sebelum mengakhiri wawancara. Pewawancara
perlu dilatih untuk agar bersikap faktual, tidak menggunakan sudut pandang
pewawancara untuk melakukan penilaian atas jawaban subjek. Pada pelatihan yang
berkaitan dengan cara pencatatan jawaban subjek, pencatatan sebaiknya dilakukan
dengan segera, tapi jangan sampai menimbulkan kesan yang tidak baik bagi
subjek. Hasil pelatihan terhadap pewawancara sebaiknya diujicobakan terlebih
dahulu untuk memperoleh umpan balik guna memperbaiki kualitasnya. (Lerbin R.
Aritonang, 2007)
Pewawancara pada suatu penelitian dapat
terdiri atas suatu atau beberapa orang. Wawancara itu seharusnya dilakukan oleh
orang-orang yang telah terlatih. Hal itu terutama dibutuhkan pada wawancara
mendalam dan wawancara kelompok focus. Pewawancara itu biasanya dipilih dari
orang-orang yang memiliki disiplin psikologi yang telah memperoleh pelatihan
tambahan pada waktu kuliah (Lerbin, 2007). Pelatihan biasanya diarahkan pada
cara-cara berkomunikasi dan cara memperoleh informasi secara lebih mendalam
serta cara-cara untuk menciptakan suasana wawancara yang kondusif untuk
mendapatkan informasi yang sesuai dengan tujuan penelitian. Selain itu, cara
untuk melakukan pencatatan jawaban subjek juga perlu dilatih, terutamamengenai
hal-hal apa saja yang perlu dan tidak perlu untuk dicatat, bagaimana cara
mencatatnya dengan mudah, dan dalam keadaan yang bagaimana pencatatan
dilakukan. Hal lain yang perlu ditekankan pada pelatihan adalah kewajiban
pewawancara untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan meminta maaf seandainya
ada hal-hal yang tidak berkenen selama wawancara berlangsung serta meminta
kesediaan subjek untuk diwawancarai kembali seandainya masih diperlukan.
Dalam mengajukan pertanyaan, pewawancara
jangan bersikap seperti polisi, hakim ataupun pihak yang paling mengetahui
mengenai topic yang dijelaskan. Demikian juga dengan nada bicara pewawancara.
Dalam keadaan tertentu, pewawancara perlu juga dilatih mengenai cara-cara mendorong
subjek untuk memberikan jawaban maupun mengorek lebih mendalam informasi yang
dibutuhkan, termasuk motivasi subjek serta kejelasan maksud dari subjek atas
jawaban yang diberikannya.
Pada pelatihan perlu juga ditekankan
agar pewawancara memeriksa kelengkapan maupun kejelasan jawaban atas tiap
pertanyaan yang diberikan oleh subjek sebelum mengakhiri wawancara. Pada
wawancara, pewawancara sering kali harus memberikan penilaian sendiri atas
jawaban yang diberikan subjek. Sehubungan dengan itu, pewawancara perlu dilatih
agar bersikap factual, tidak menggunakan sudut pandang pewawancara untuk
melakukan penilaian atas jawaban subjek.
Pada pelatihan yang berkaitan dengan
cara pencatatan jawaban subjek, pencatatan sebaiknya dilakukan dengan segera,
tetapi jangan sampai menimbulkan kesan yang tidak baik bagi subjek. Hasil
pelatihan terhadap pewawancara sebaiknya diujucobakan lebih dulu untuk
memperoleh umpan balik guna memperbaiki kualitasnya.
Wawancara dilakukan setelah persiapan,
untuk itu dimantapakan. Dalam persiapan wawancara, sampel responden,
kriteria-kriteria responden, pewawancara, serta interview guide, telah
disiapkan dahulu (Nazir, 1988). Interview guide sudah harus disusun dan
pewawancara harus mengerti sekali akan isi serta makna dari interview guide
tersebut. Segala pertanyaan yang ditanyakan haruslah tidak menyimpang dari
panduan yang telah digariskan dalam interview guide tersebut. Latihan wawancara
harus diadakan sebelum wawancara diadakan.
Umumnya pewawancara memegang peranan yang amat penting dalam memulai wawancara.
Pewawancara harus dapat menggali keterangan-keterangan dari responden, dan
harus dapat merasa serta membawa responden untuk memberikan informasi, baik
dengan jalan:
1.
membuat
responden merasa bahwa dengan memberikan keterangan tersebut responden telah
melepaskan kepuasannya karena suatu tujuan tertentu telah tercapai.
2.
menghilangkan
pembatas antara pewawancara dan responden sehingga wawancara dapat berjalan
lancar.
3.
keterangan
diberikan karena kepuasannnya bertatap muka dan berbicara dengan pewawancara.
Umumnya urutan-urutan prosedur dalam memulai
wawancara adalah sebagai berikut:
a.
Menerangkan
kegunaan serta tujuan dari penelitian.
b.
Menjelaskan
mengapa responden terpilih untuk diwawancarai.
c.
Menjelaskan
institusia atau badan apa yang melaksanakan penelitian tersebut.
d.
Menerangkan
bahwa wawancara tersebut merupakan suatu hal yang confidensial.
Penjelasan tentang kegunaan dan tujuan penelitian
dapat memberikan motivasi kepada responden untuk berwawancara. Kesangsian
responden serta rasa curiga tentang keterlibatan atau pemilihan responden untuk
menjawab pertanyaan dapat dihilangkan dengan menjelaskan bagaimana caranya dan
mengapa responden yang bersangkutan terpilih sebagai responden. Penjelasan
tentang institusi atau badan yang melaksanakan penelitian dapat membuat
responden percaya bahwa keterangan-keterangan yang diberikan akan digunakan
untuk keperluan yang objektif pula. Sifat wawancara yang konfidensial akan
lebih mendorong responden untuk memberikan keterangan tanpa sembunyi-sembunyi
dan mendorong responden memberikan keterangan secara jujur.
Kelancaran wawancara sangat dipengaruhi oleh adanya
rapport. Rapport adalah suatu situasi di mana telah terjadi hubungan psikologis
antara pewawancara dan responden, di mana rasa curiga responden telah hilang;
antara responden dan pewawancara terjalin suasana berkomunikasi secara wajar
dan jujur. Rapport adalah suasana atau atmosfir yang wajar dalam
berbincang-bincang, bukan sesuatu yang dibuat-buat atau yang ditanamkan ke
dalam suatu wawancara. Jika wawancara dimulai dengan “Assalamualaikum” atau
selamat pagi, kemudian menanyakan keadaan anak-anak dan sebagainya, belum tentu
rapport sudah ada. Rapport adalah hubungan yang mendalam, seperti keterbukaan,
toleransi, ramah, dan pengertian dan sebangsanya dalam proses wawancara. Cara
berpakaian, cara menggunakan kata-kata, sikap hormat dan ramah tamah serta
sifat tidak sok dari pewawancara dapat menghasilkan suatu rapport sehingga
komunikasi dapat terjalin secara wajar dan tidak artificial. Air muka yang
manis tanpa terlalu banyak berbasa-basi juga perlu diperhatikan dalam
mengadakan rapport.
Dalam mencari keterangan, pewawancara janganlah mengalihakan perhatiannya
terhadap dan terlalu asyik dengan kertas dan pensilnya saja. Pemendekan kata-kata
dan merangkainya kembali kemudian, dapat dibenarkan dalam mencatat wawancara.
Beberapa sikap pewawancara dalam bertanya harus
diperhatikan. Sikap-sikap tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Netral. Jangan
memberikan reaksi terhadap jaawaban, baik denagn kata-kata atau dengan
perbuatan atau dengan gerak-gerik. Baik tidak baik, senang tidak senang, setuju
tidak setuju jangan sekali-kali diperlihatkan oleh pewawancara dalam wawancara.
Janagan memberikan sugesti.
2.
Adil. Dalam
wawancara, semua responden harus dianggap sama, jangan memihak pada sebagian
responden sehingga responden merasa aman dalam memberikan keterangannya.
3.
Ramah. Tunjukkan
keramahan yang wajar, tidak dibuat-buat, segar, bermuka manis.
E. Pedoman
Wawancara
Kesan pertama dari penampilan pewawancara, yang
pertama diucapkan dan dilakukan pewawancara, sangatlah untuk merangsang sikap
kerja sama dari pihak responden. Berdasarka pengalaman Michigan Survey Research
Center diketahui, bahwa responden lebih mengingat pewawancara dan cara dia mewawancarai
daripada isi wawancara. Karena itu, segala cara untuk mendapatkan sambutan
simpatik dan sikap kerjasama dari responden sebaiknya dipahami dan dilatih
dengan seksama. Dalam melaksanakan tugas wawancara, pewawancara harus selalu
sadar bahwa dialah yang membutuhkan dan bukan sebaliknya (Masri Singarimbun dan
Sofian Effendi, 1989).
Pedoman untuk mencapai tujuan wawancar dengan baik
adalah:
1.
berpakaian
sederhana, rapi, tanpa perhiasan
2.
sikap rendah
hati
3.
sikap hormat
kepada responden
4.
ramah dalam
sikap dan ucapan (tetapi efisien, jangan terlalu banyak berbasa-basi), dan
disertai dengan air muka yang cerah
5.
sikap yang penuh
pengertian terhadap responden dan netral
6.
bersikap
seolah-olah tiap responden yang kita hadapi selalu ramah dan menarik
7.
sanggup menjadi
pendengar yang baik
Penggunaan
metode wawancara biasanya diikuti dengan pedoman untuk melaksanakan wawancara
itu. Pedoman tersebut berisi butir-butir yang akan ditanyakan, cara pencatatan
dan pemberian skor (bila diperlukan) atas jawaban responden. Selain itu,
peralatan dan kondisi yang dibutuhkan untuk pelaksanaan wawancara juga perlu
dispesifikasikan pada pedoman wawancara. Pada pedoman itu perlu juga
dikemukakan persyaratan atau karakteristik subjek yang akan diwawancarai (Lerbin,
2007).
Mewawancarai
hampir sama dengan bermain piano – skill yang cukup bisa diperoleh tanpa
membutuhkan latihan formal. Tapi ada dunia yang berbeda dalam keterampilan,
dalam hal teknik, dan dalam kemahiran antara seorang amatir yang bermain “dengan
menggunakan telinga” dan seorang pianis konser yang ahli. Pemain yang belajar
sendiri secara mekanis pada keyboardnya memainkan melodi-melodi tertentu yang
melekat pada ingatannya; sang seniman, yang dengan ahli menggabungkan
penguasaan teori musik, latihan yang tak terhitung lamanya, dan interpretasi
pribadi, menciptakan suatu efek yang secara teknik pas, menyenangkan di telinga
para pendengar, dan mengekspresikan perasaan paling mendalam dari sang pianis
(Charles Stewart dan W. B. Cash, 2003).
Wawancara
biasanya adalah suatu pertukaran lisan yang saling berhadapan langsung.
Orang-orang yang terlibat berada di hadapan yang lainnya dan melisankan
pesan-pesan yang ingin mereka sampaikan dengan suara keras. Ini memberikan
wawancara sejumlah keuntungan dibandingkan dengan kuesioner, karena (a) para
responden memiliki kemungkinan lebih besar untuk berbicara lebih banyak
dibandingkan dengan menulis, (b) orang-orang menjadi lebih termotivasi dengan
kehadiran orang lain, dan (c) pertukaran-pertukaran lisan menawarkan lebih
banyak peluang-peluang langsung untuk menyelidik, mengklarifikasi
jawaban-jawaban dan memberikan feedback.
Proses-proses
yang berhubungan dengan melaksanakan wawancara adalah mensetting suasananya,
mendengarkan, menyelidiki, memotivasi, dan mengendalikan wawancara. Hal-hal ini
melibatkan suatu teknik komunikasi tingkat tinggi, dan panduan-panduan yang
relevan.
Komunikasi dua arah umumnya lebih efektif dari komunikasi satu arah. Komunikasi
satu arah dicirikan oleh pesan-pesan yang pada dasarnya berjalan ke satu arah
saja, misalnya, dari pewawancara ke yang diwawancarai. Pengirimnya tidak begitu
tertarik pada respon-respon, pertanyaan-pertanyaan, komentar-komentar, atau
reaksi-reaksi dari si penerima. Sebagai akibatnya, dalam sebuah situasi satu arah
si pewawancara tidak merasa bahwa sudah terjadi saling pengertian atau bahwa
pesannya sudah efektif karena tidak ada umpan balik (feedback). (Banyak orang
yang merasa nyaman dengan situasi satu arah karena hal ini efisien dalam hal
menghemat waktu dan mereka tidak harus merasa khawatir tentang reaksi mereka
terhadap pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar).
Hindari
keliru mengasumsikan objek sudah tahu dengan pasti hasil-hasil yang mereka
inginkan, si penerima pasti juga tahu. Sehingga, mereka seringkali mengabaikan
untuk memberikan rincian-rincian penjelas. (Robert Kahn dan Charles Channel,
2003)
F. Wawancara Kelompok Fokus
Bila
pada suatu wawancara hanya terdapat satu pewawancara dan satu subjek, maka
wawancaranya dinamakan wawancara mendalam individual. Bila pada suatu wawancara
ada satu pewawancara dan beberapa subjek, maka wawancaranya disebut wawancara
kelompok fokus. Subjek pada wawancara kelompok fokus itu biasanya terdiri atas
8 sampai dengan 12 orang. Bila pada wawancara itu ada satu pewawancara dan 4
sampai dengan 5 subjek, wawancaranya disebut wawancara kelompok kecil.
Pada
wawancara kelompok fokus, pewawancara sebenarnya lebih cenderung berfungsi
sebagai moderator yang mengatur dan memperlancar arus pembicaraan. Wawancara
itu biasanya berlangsung antara 1 samapai dengan 3 jam dalam suatu ruangan yang
berlatar formal dan santai.
Para subjek yang disertakan dalam kalompok fokus adalah para subjek yang
bersifat homogen. Untuk itu, para subjek harus telah diseleksi sebelum
wawancara sehingga dapat diperoleh para subjek yang homogen. (Lerbin R.
Aritonang, 2007)
Proses
wawancara pada suatu kelompok fokus biasanya dicatat dengan menggunakan alat
bantu, seperti video. Kemudian hasil rekaman video itulah yang akan dianalisis
guna menjawab permasalahan penelitian. Teknik-teknik analisis yang digunakan
adalah teknik analisis kualitatif, seperti pada analisis isi. Pewawancara pada
kelompok fokus harus memiliki ketrampilan yang tinggi untuk memperlancar
jalannya diskusi dan untuk mengungkap hal-hal yang bersifat diagnostik.
Tujuan
utama dari wawancara ini adalah untuk memperoleh pangetahuan yang mendalam
dengan mendengar sekelompok orang dari pasar sasaran yang tepat untuk
membicarakan isu yang diamati dengan peneliti. (Malhotra, 1993)
Wawancara
itu difokuskan pada penghayatan pribadi seseorang dalam menghadapi suatu
situasi yang khusus, seperti dalam menghadapi pimpinan rapat yang otoriter.
Struktur situasi pada wawancara itu sendiri harus telah diselidiki sebelumnya
oleh peneliti sehingga dapat menemukan unsur-unsur serta pola-polanya yang
penting. Berdasarkan hasil tersebut kemudian dibuat pedoman wawancara. (Hadi,
1993)
Orang-orang
dalam sebuah wawancara berada dalam sebuah hubungan interpersonal. Meskipun
demikian, variasi-variasi tertentu dari wawancara bisa mencakup orang-orang
dalam kelompok-kelompok. Umumnya, peran pewawancara akan dikembangkan dalam hal
tiga fungsi utamanya:
a.
merencanakan
strategi-strategi,
b.
melaksanakan
atau mengatur wawancara, dan
c.
mengukur
hasil-hasilnya.
Proses-proses
yang berhubungan dengan melaksanakan wawancara adalah mensetting suasananya,
mendengarkan, menyelidiki, memotivasi, dan mengendalikan wawancara. Hal-hal ini
melibatkan suatu teknik komunikasi tingkat tinggi, dan panduan-panduan yang
relevan.
Orang-orang melakukan wawancara kelompok fokus biasanya untuk tujuan-tujuan
yang berhubungan dengan tugas; mereka punya sesuatu yang ingin mereka capai,
yakni, menyeleksi seseorang untuk suatu pekerjaan, mengumpulkan data
penelitian, menerima pasien, atau menulis kisah berita. Tujuan terkait tugas
inilah yang membedakan wawancara dari sekedar perbincangan biasa. Suatu
percakapan bisa sampai kemana saja; akan tetapi, wawancara harus difokuskan
pada kandungan isi yang sesuai dengan tujuan utama. (Nazir, 1989).
G. Wawancara
Mendalam
Sering
jawaban responden kurang memuaskan karena masih bersifat terlalu umum, dan
kurang khusus, misalnya: “Anak dapat membantu orang tua”. Membantu dalam hal
apa? Di sini terdapat beberapa kemungkinan, kaena iu perlu ditanyakan lebih
lanjut. Inilah yang disebut menggali informasi lebih dalam atau probing,
sehingga diperoleh jawaban yang labih khusus dan tepat.
Apabila
jawaban responden kurang meyakinkan, maka perlu ditanyakan keterangan lebih
lanjut, dan kalimat yang disampaikan pun harus bersifat netral. Probing ini
termasuk salah satu bagian yang paling sulit dalam wawancara. Pengawas
sebaiknya teliti dalam menilai jawaban-jawaban hasil probing. Sangat baik
dianjurkan kepada pewawancara agar selalu menuliskan kalimat pertanyaan
probing, di samping jawaban responden. Dengan demikian pengawas dapat
mengetahui apakah cara bertanya sudah benar, tidak tendensius. (Masri
Singarimbun, 1989)
Wawancara
mendalam merupakan wawancara pribadi, langsung, dan tidak terstruktur dengan
seorang subjek yang diselidiki oelh pewawancara yang sangat terampil untuk
menemukan latar belakang motivasi, kayakinan, sikap, dan perasaan subjek
terhadap satu topik. Wawancara ini biasanya berlangsung antara 30menit sampai
dengan lebih dari satu jam.
Wawancara mendalam sering digunakan untuk mengungkap hal-hal yang tersembunyi,
yang sulit untuk diungkap dengan metode atau teknik pengukuran lainnya. Untuk
itu, pewawancaranya harus memiliki ketrampilan yang tinggi untuk mengungkapnya.
Selain masalah pewawancara, penentuan xubjek yang akan diwawancara seringkali
juga menjadi masalah. Wawancara ini biasanya digunakan pada penelitian
eksploratif. (Lerbin R. Aritonang, 2007)
Wawancara mendalam adalah suatu bentuk yang khusus dari komunikasi oral dan
berhadapan muka dalam suatu hubungan interpersonal yang dimasuki untuk sebuah
tujuan tertentu yang diasosiasikan dengan pokok bahasan tertentu.
Keefektifannya bisa dinilai dalam hal tujuan wawancara, teknik-teknik yang
digunakan, kerangka waktunya, sudut pandang orang yang melakukan evaluasi, dan
reliabilitas dan validitas informasi yang diperoleh.
Aspek-aspek wawancara mendalam yang dapat direncanakan adalah tujuan-tujuan,
pertanyaan-pertanyaan, setting, dan reaksi terhadap permasalahan-permasalahan
khusus. Perencanaan semacam itu bisa memberikan kesiapan bagi si pewawancara
untuk semua kemungkinan-kemungkinan yang mungkin muncul dalam proses wawancara.
(Robert Kahn dan Charles Channel, 2003)
Wawancara-wawancara mendalam terjadi karena suatu
tujuan, dan memfokuskan pada jenis-jenis informasi tertentu. Salah satu
karakteristik dari pewawancara yang baik adalah kemampuan untuk mengendalikan
interaksi sehingga tujuan wawancara tercapai. Hal ini berarti bahwa tidak semua
komentar atau respon relevan. Oleh karenanya, anda mungkin perlu menetapkan batasan-batasan
mengenai jenis respon yang tepat. Karena feedback adalah dimensi wawancara
mendalam yang penting, pewawancara perlu melakukan upaya yang sangat penuh
kesadaran dan terencana untuk mendapatkan feedback apabila tidak diberikan
secara sukarela. Saran-saran berikut adalah teknik-teknik yang sangat
bermanfaat guna menghasilkan feedback: (1) meminta feedback; (2) mendengarkan
ketika diberikan; (3) melatih orang-orang agar merasa anda mau menerima
feedback; dan (4) mempertahankan suasana yang memungkinkan adanya feedback.
Semua wawancara mendalam tersusun atas dua dimensi penting yang bisa dianalisa
keefektifannya: kandungan isi dan hubungan. Yang cenderung akan lebih
difokuskan adalah isi. Hendaknya melakukan wawancara untuk mendapatkan
informasi atau untuk memberikan informasi. Akan tetapi, menganggap bahwa
hubungan antar pewawancara dan orang yang diwawancarai sama pentingnya dalam
kebanyakan situasi. Bahkan, sifat-dasar hubungan tersebut bisa menentukan
apakah informasi tertentu telah disampaikan selama wawancara atau tidak. (Dr.
Nurul Murtadho, 1992).
H. Sumber
Kekeliruan Pelaporan Hasil Wawancara
Perolehan data dengan memanfaatkan manusia, memiliki
beberapa kelemahan sehingga hasil pengukuran yang diperoleh mengandung
kekeliruan. Pada konteks wawancara ada beberapa hal yang menjadi sumber
kekeliruan pengukurannya, baik dari pewawancara maupun dari orang yang
diwawancarai, yaitu:
1.
Ingatan
2.
hal yang
seharusnya dilaporkan dilewatkan saja dan todak dilaporkan
3.
melebih-lebihkan
atau telah meramu jawabannya
4.
mengganti hal
yang tidak dapat diingat
tidak mampu mereproduksi kejadian menurut waktu atau
hubungan antarfakta seperti apa adanya. (Lerbin R. Aritonang, 2007)
Apabila responden menjawab ”tidak tahu”, maka
pewawancara perlu berhati-hati. Sebaiknya pewawancara tidak lekas-lekas
meninggalkan pertanyaan itu dan pindah ke pertanyaan lain. Jawaban ”tidak tahu”
perlu mendapat perhatian, sebab jawaban itu dapat mengandung bermacam-macam
arti, diantaranya:
a.
responden tidak
begitu mengerti pertanyaan pewawancara, sehingga untuk menghindari menjawab
”tidak mengerti” maka menjawab ”tidak tahu”
b.
responden
sebenarnya sedang berpikir, tapi karena merasa kurang tentram kalau membiarkan
pewawancara menunggu lama, maka dia menjawab ”tidak tahu”
c.
sering karena
responden tidak ingin diketahui pikiran yang sesungguhnya karena dianggap
terlalu pribadi, maka dia menjawab ”tidak tahu”. Dapat juga terjadi karena
responden ragu-ragu atau takut mengutarakan pendapatnya responden memang
benar-benar tidak tahu. Tentu saja itu mencerminkan jawaban sebenarnya. Namun,
adalah tugas pewawancara untuk mengamati responden dengan cermat. Benarkah
responden tidak tahu, atau adakah hal-hal lain di balik pikirannya. Dapat pula
pewawancara mengulang pertanyaan sekali lagi atau menambah pertanyaan agar
lebih yakin akan jawaban responden. (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi,
1989)
Sebagai
contoh, Herbert Hyman melaporkan sejumlah penelitian yang mempertanyakan
reliabilitas data. Dalam sebuah penelitian, pewawancara kulit hitam dan kulit
putih mensurvey sebuah sampel orang-orang kulit hitam dan mendapatkan informasi
yang berbeda. Si pewawancara berkulit hitam melaporkan lebih banyak kebencian
mengenai diskriminasi dibandingkan si peneliti yang berkulit putih. Kenapa
bisa? Kita tidak tahu pasti. Apakah orang-orang kulit hitam tersebut dengan
sengaja menahan informasi, atau apakah orang secara perseptual telah dibutakan
atau bias? Kita tidak tahu. Akan tetapi, fakta bahwa kedua kelompok tersebut berbeda
membuat kita mempertanyakan reliabilitas data. Ada banyak penelitian seperti
milik Hyman. Demikian pula, ketika dua orang petugas perekrutan memiliki
penilaian yang jauh berbeda mengenai seorang kandidat yang sama, maka
reliabilitasnya rendah. Karena jawaban-jawaban interviewe tidak bisa
dikendalikan sepenuhnya.
Salah satu penyebab terbesar dari
permasalahan-permasalahan komunikasi adalah bahwa kita menganggap bahwa
orang-orang sama seperti diri kita sendiri dan bukannya menyesuaikan diri
dengan fakta bahwa mereka mungkin berbeda dalam beberapa hal. Kadangkala
harapan untuk mendapatkan feedback tidak pernah diartikulasikan, dan
orang-orangpun tidak memberikannya. Sebagai contoh, dulu ada seorang
interviewee yang mendengarkan beberapa instruksi dari seorang interviewer.
Komentarnya cuma, “Ya, pak”. Inilah salah satu penyebab sumber kekeliruan
pelaporan hasil wawancara.
I.
Keunggulan dan
Kelemahan Wawancara
Kebaikan metode wawancara terletak pada keluwesannya.
Artinya, wawancara dapat dengan mudah disesuaikan dengan kondisi yang terjadi
pada saat wawancara berlangsung. Selain itu, melalui wawancara dapat juga
diungkap hal-hal yang tersembunyi yang mungkin tidak dapat diungkap dengan
metode lain, asalkan pewawancaranya memiliki ketrampilan yang dibutuhkan.
Kelemahan metode wawancara adalah dari segi banyaknya waktu, tenaga, dan biaya
yang dibutuhkan. Selain itu, pewawancara yang memiliki ketrampilan yang tinggi
tidak mudah diperoleh, selain mahal, juga sulit atau lama untuk melatihnya
(Lerbin R. Aritonang, 2007). Beberapa keuntungan metode wawancara ditinjau dari
segi operasional pekerjaan lapangan atau field work (Joseph R. Tarigan, 1995),
antara lain:
a.
mengumpulkan
data melalui wawancara perorangan biasanya persentase hasil yang diperoleh
lebih tinggi karena hampir semua orang dapat diajak bekerja sama
b.
keterangan yang
diperoleh melalui metode ini lebih dijamin kebenarannya daripada metode lain,
karena petugas pencacah dapat menerangkan daftar/kuisioner tersebut kepada
responden sehingga responden memberikan jawaban yang teliti. Apabila responden
dengan sengaja memalsukan jawabannya, petugas pencacah akan mencoba
menyadarkannya dengan menggunakan pendekatan khusus untuk mendapatkan jawaban
yang betul
c.
petugas pencacah
dapat mengumpulkan keterangan yang lengkap tentang karakteristik pribadi
responden dan sekitarnya dapat menasirkan dan mengevaluasi hasil-hasil yang
mewakili dari unit survey
d.
dengan
mempertunjukkan secara visual, responden dapat menangkap dan mengerti apa yang
dimaksud
e.
kunjungan ulang
(re-visit) untuk melengkapi keterangan yang kurang pada daftar (kuisioner) atau
membetulkan kasalahan-kasalahan, biasanya dapat dilakukan tanpa mengecewakan
responden
f.
petugas pencacah
mungkin berhasil mendapatkan jawaban yang lebih spontan daripada kalau
kuisioner tersebut dikirim lewat pos atau ditinggalkan untuk diisi oleh
responden
Walaupun metode wawancara memiliki berbagai
keuntungan dalam pelaksanaan lapangan, tetapi metode ini tidak lepas dari
kelemahan-kelemahan, antara lain:
a.
pengaruh pribadi
petugas pencacah dalam pelaksanaan wawancara dapat menghambat jawaban
responden. Contohnya: apabila pencacah menunjukkan sikap tertentu (memaksakan
pendapat), maka tanpa disadarinya akan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang
memberikan konfirmasi atau menguatkan pandangannya sendiri. Bagi petugas
pencacah yang memiliki sikap wawancara seperti ini, dianjurkan untuk menanyakan
pertanyaan sesuai dengan kata-kata yang terdapat dalam kuisioner.
b.
Jika pencacah
kenal dengan responden, maka mungkin responden akan keberatan untuk memberikan
keterangan-keterangan yang bersifat pribadi. Responden mungkin menganggap hal
ini sebagai mencampuri urusan pribadi dan menghilangkan sifat rahasia survey
ini.
Beberapa keuntungan melaksanakan pengumpulan data
dengan menggunakan metode wawancara adalah (Suparmoko, 1992):
a.
pelaksanaan
wawancara mungkin memakan waktu yang lebih lama sehingga memungkinkan responden
menjadi lebih mengerti akan topik yang ditanyakan, sehingga hubungannya dengan
materi yang relevan lebih memungkinkan.
b.
Pertanyaan-pertanyaan
yang sifatnya sangat sensitif untuk responden dapat ditanyakan secara taktis
oleh petugas pencacah sehingga tidak menyinggung perasaan responden. Dengan
melihat reaksi responden, petugas pencacah dapat mengalihkan permasalahan kalau
perlu memberikan penjelasan-penjelasan mengenai persoalan survey ataupun
komentar-komentar lain unuk memancing responden memberikan jawaban. Dengan kata
lain, situasi yang agak rumit biasanya dapat diatasi lebih baik dan efektif
dengan persoalan metode wawancara dibandingkan dengan metode lain.
c.
Bahasa survey
dapat disesuaikan dengan kemampuan atau tingkat pendidikan responden. Oleh
karena itu lebih mudah untuk emnghindarkan salah pengertian atau salah
pengarahan dari pertanyaan yang ada. Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa
dalam survey tertentu adalah penting untuk petugas pencacah supaya tidak
merubah kata-kata atau urutan pertanyaan yang ada, supaya mendapatkan jawaban
yang bisa dipercaya. Dalam hal ini kepada petugas pencacah akan diberitahu selama
mereka mengikuti latihan.
Kelemahan-kelemahan yang terdapat pada penggunaan
metode wawancara antara lain:
a.
jika responden
yang akan dikunjungi menyebar di daerah yang sangat luas, maka biaya perjalanan
dan waktu yang dibutuhkan untuk mengunjungi responden tidak sedikit. Hal ini
mungkin membuat penggunaan metode wawancara menjadi tidak ekonomis dan tidak
efisien.
b.
Dalam memilih,
melatih, dan membimbing petugas pencacah lapangan diperlukan suatu organisasi,
sehingga dalam pelaksanaannya lebih rumit dibandingkan dengan metode lain.
c.
Kesempatan dan
waktu wawancara dengan responden terbatas artinya mungkin hanya dapat dilakukan
malam hari saja atau hanya satu atau dua jam saja pada sore hari, sehingga
membutuhkan banyak petugas agar waktu yang ditentukan dapat dicapai.
Sumber:
1. http://prianirini.blogspot.com/2012/11/metode-pengumpulan-data.html
2. https://teorionline.wordpress.com/service/metode-pengumpulan-data/
3. http://www.academia.edu/5077790/Instrumen_Pengumpul_Data
4. http://merlitafutriana0.blogspot.com/p/wawancara.html